Rabu, Agustus 10, 2011

(1)

Hai.
(Even in words I don't know where to start)
Well, sorry for that. Apa kabar?
(Cliche, but yes I always wanna know if you're okay. Always, you know?)
No need to answer if you don't want to. It's okay.
(Aku bahkan sangsi kamu masih mengingatku)

Yesterday I came by to the place where we met for the first time.
Sebenarnya sudah kali ketiga aku berkunjung ke sana setelah kepulanganku.
Aku tahu bulan depan pun tempat itu akan kembali menjadi bagian dari rutinitasku. Seperti biasa.
Ya, dengan atau tanpa kamu.

Aku sedang duduk di hadapan meja ketika dua sosok melintas.
(Call it hallucination or something I don't know) 
I saw you. Agak bodoh kedengarannya memang, atau gila?
Sepertinya itu akibat obrolan santai kami yang mulai random dan melantur ke mana-mana.
Termasuk masa depan.. juga masa lalu.
Kamu. Kita.


"Beda sih ya.. Sayang, padahal waktu itu.." Aku cuma melengos mendengarnya.
Entah karena bosan, lelah, atau malah menutupi perasaan yang sesungguhnya.
Atau mungkin kamu tahu jawabannya?
Biasanya kan memang begitu. Aku selalu berbicara dan bertingkah apa adanya saat bersamamu.
Atau aku yang menjadi terlalu transparan saat di dekatmu..?
(Don't ask me, I don't know the answer)



Dua tahun baru aku lewati di dua benua berbeda: di tanah air kita dan nun jauh di seberang dunia.
Lucunya aku masih saja tetap sama, walaupun dalam beberapa hal aku kini berbeda.
Budaya Barat memang tidak berhasil meliberalkanku, aku bersyukur.
Tapi kadang ada saatnya pikiranku terombang-ambing dan kacau.
I started cursing the wind. I was mad.


I just couldn't stand not to question why,
Why hadn't we just born in that land..? Then wouldn't have been any problem!
Tidak ada sekat pemisah. Kalaupun ada, tidak dijadikan masalah.
Minyak dan air digeneralisasikan sebagai cairan.
Mengapa kita semua tidak bisa disebut sekedar manusia saja?


Saat menulis ini saja, rasanya aku ingin melanggar janjiku sendiri.
Kalau bisa bersuara pun aku ingin kamu tahu, aku ingin sekali duduk di sampingmu.
Memperhatikan perubahan-perubahan dalam dirimu. 
Tentunya tahun-tahun yang terlewat tidak berlalu begitu saja, bukan?


Dengan begini saja aku sudah menjilat kata-kataku sendiri.
Untuk tidak lagi berhubungan denganmu.
Tapi masih saja, aku belum bisa.. ternyata.
Maaf.


Biarkan aku jujur saja.
Kadang aku rindu bersandar di lekukan bahumu,
Atau menertawakan matamu yang nyaris hilang saat tertawa.
Berargumen keras denganmu, lalu dilanjutkan dengan percakapan berujung tawa yang malah tidak bersangkut-paut sama sekali dengan pokok masalah! Aneh, bukan.
Atau genggaman tangan dan kata-kata yang selalu menguatkan,
Juga alunan nada di malam hari saat aku tidak bisa memejamkan mata.


Kadang aku berharap kita bertemu di saat kita sudah lebih dewasa,
Jadi tidak perlu ada emosi atau sikap kekanak-kanakan.
Kamu tidak pernah meminta maaf setelah itu, tapi aku ingin minta maaf.
Tapi mungkin setelah aku pikir lagi itu hanya akan membuat semuanya lebih sulit dan menyakitkan.
Entahlah.


Aku masih ingat segala kalimat menyakitkan, yang dulu herannya bisa aku abaikan,
Yang bahkan perih sakitnya bisa hilang sesaat.
Darimu. Dari orang-orang.
Bahkan segala janji-janjimu yang hanya melewati mulut dan terbang pergi pun tak lagi ku permasalahkan.
(Atau mungkin karena aku mati rasa?)
Begitu banyak hal-hal buruk yang aku ingin lupakan,
But somehow, jauh di dalam diri kamu aku percaya masih ada sisi baik.
Bodoh memang. Aku hanya merasa ada sesuatu yang kamu sembunyikan.
Aku tidak tahu, kamu kan memang tidak pernah jujur padaku?
Inginnya aku menerjemahkan peristiwa dengan versiku,
Tapi aku tidak mau menerka apalagi berkata pada udara.


Aku belajar satu kata baru: penerimaan.
"Belajar memaafkan saja sudah sulit, bagaimana caranya aku bisa langsung mengerti apa itu merelakan?" Begitu pikirku dulu.
Tapi aku coba tersenyum, kalau memang aku menjalankan apa yang seharusnya aku lakukan, mengapa tidak?

Kamu dengan seseorang dari kalanganmu.
Aku pun akan bersama seseorang dari kalanganku.
Akhir yang indah untuk semua orang, bukan?

Itulah mengapa aku begitu tidak menyangka,
Kau meninggalkan dia dari kalanganmu dan memilih bersama seseorang dari kalanganku.
Maksudmu apa..?
Aku tidak mengerti dan tidak peduli lagi apa maumu.
Aku lelah bertanya pada ruang hampa.
Aku jelas-jelas kecewa.
Kamu.. memuakkan.

Bohong kalau aku bilang tidak.
Untaian nada memang satu-satunya penghubung kamu denganku,
Walau aku berjanji mulai sekarang itu bukan apa-apa lagi.
Tapi aku tidak bisa mencegah diriku bertanya, ingatkah kamu padaku saat melantunkannya?


Dusta bila aku menggeleng saat kau ajak aku bertemu.
Begitu kuat rasanya hasrat untuk mendengar suaramu lagi.
Aku bersamamu di awal penitianmu,
Sedih rasanya tidak bisa ada di sana saat ini, 
To watch you become somebody.
Tapi lebih baik tidak, memang.
Lebih banyak kebohongan lagi tidak akan menghasilkan apa-apa.
Satu kali pertemuan lagi bisa saja berbahaya.
Aku hanya ingin berterima kasih padamu untuk tidak mundur dari mimpimu.
Terima kasih.
Aku pun akan terus mengejar mimpiku sendiri.
Dan melangkah bersama seseorang yang baru,
Yang tidak seperti kamu.

So I make my stopper again today..
Between me and you.


Aku hanya bisa berdoa untuk yang terbaik.
Bukan untuk kita, tapi untukmu dan untukku.. masing-masing.


Azka Bastaman