I never thought growing up adult would be this tough.
Even for me, who love to plan and prepare myself for every thing.
Funny how, back then, I couldn't wait to be an adult for I thought I'd be so stable and mature.
Funny how, right now, I see myself as the same old teen with a more complicated mind..
*sigh*
Anyway. Hi again. Sedih ya, tahun sudah lama berganti dan saya baru nulis lagi. Maklum, udah bukan pengangguran lagi.. (jumawa ah, padahal mah as always making excuse aja)
Sibuk S2? Kerja? Atau berumah tangga? Ya kali yang disebut terakhir. Hahaha.
As I said in my previous post, masa post-bachelor bener-bener babak baru yang penuh dilemma. So now I can say that life IS getting real. I don't mean to say that masa-masa sekolah dan menjalani kehidupan sebagai remaja itu mudah, sama halnya dengan masa-masa kuliah yang seringkali stressful dan penuh perintilan organisasi. But this is different. Making choices in life akan selalu jadi pembelajaran, yet satu aja keputusan yang diambil di tahap ini bisa berdampak jauh ke masa depan.
Back then in my college life (or ever since I was still in high school I guess), saya selalu bilang setelah lulus kuliah saya mau S2. I basically love studying, and I grew up being told that I would follow my dad's path and become a lecturer. Till I came to the point where I started to question myself whether that was what I really wanted, or I just believed in what I'd always been told..
Hal ini sebenarnya salah satu hal yang bikin saya maju-mundur untuk mengurus beasiswa dan preparing untuk S2. Some people are lucky enough to have that privilege buat kuliah lanjutan tanpa harus memusingkan biaya atau kewajiban mencari uang. Tanpa harus memusingkan after getting master degree, then what? Atau untuk bisa berkata bahwa sekolah ya untuk mencari ilmu, aplikasinya bisa ke mana aja dan liat nanti aja. Tapi buat saya yang sangat mengandalkan beasiswa kalau memang mau lanjut sekolah, studi apa yang mau saya ambil dan apa yang akan saya lakukan dengan gelar yang saya punya setelahnya tentu jadi hal krusial.
Thing is, the clock is ticking. Saya sadar, mengurus beasiswa bukan hal yang prosesnya cuma sebulan dua bulan, dan nggak ada jaminan saya bisa langsung dapat di percobaan pertama. Jadi saya pikir paralel aja, sambil menyiapkan S2 sambil lihat-lihat lowongan kerja. Proses seleksi kerja yang saya ikuti dengan serius juga nggak banyak, cuma Danone MT STAR, PCPM BI, dan HC Trainee Astra International.
Danone MT STAR adalah pengalaman pertama saya ikut seleksi kerja. Pendaftarannya kalau nggak salah dibuka September lalu. Rangkaian tes yang saya ikuti waktu itu adalah online application dan assesstment, written interview, LGD, dan HR interview. Udah mentok segitu. Hahaha ya iyalah, siapa juga yang mau nge-hire kandidat yang bilang dengan polos dan jujurnya kalau mau lanjut S2 dalam waktu dekat..☺ Maklum ya, namanya juga pertama. Untungnya saya memang coba-coba daftar aja jadi memang nothing to lose.
Selanjutnya, saya datang ke job fair UI bareng Hitta buat "nyebar CV", where Astra was salah satu company yang buka stand di sana (walau ujung-ujungnya daftarnya tetap online sih di Astra Virtue). Saya sering denger dari senior-senior saya kalau Astra adalah salah satu company yang oke untuk membangun karir dan terkenal karena development SDM-nya. Supervisor saya waktu magang juga pernah menyarankan saya untuk apply ke Astra selepas lulus kuliah untuk alasan yang sama, walau saya belum cari tahu lebih lanjut tentang Astra.
Pas daftar inilah, saya baru tahu kalau Astra Group adalah korporasi raksasa dengan tujuh lini bisnis: automotif, financial service, agribisnis, mining and heavy equipment, infrastruktur dan logistik, IT, dan yang terbaru adalah properti. PT Astra Internasional, Tbk sendiri berperan sebagai holding company dengan aff-co (anak perusahaan) yang jumlahnya lebih dari 200 perusahaan. Di Astra Virtue kita diperbolehkan untuk apply ke tiga lowongan yang dibuka di berbagai perusahaan yang termasuk ke dalam Astra Group. Honestly saya nggak inget daftar apa aja, tapi pilihan pertama saya adalah HC Trainee PT Astra International, Tbk.
Tahapan seleksi di Astra terdiri dari online application, psikotes, FGD, presentasi + HR interview, dan yang terakhir adalah panel interview sebelum masuk ke offering, med-check, dan sign kontrak. Psikotes di Astra, I can say, is my favorite (saya emang suka ngerjain psikotes btw, hehe). Astra punya alat ukur sendiri yang menurut saya beda dari psikotes-psikotes lainnya yang ngebosenin. Tesnya terdiri dari aptitude dan personality test. I'm not gonna tell you in detail about the selection phase (or maybe in another post kalau ada request, lol), tapi yang bikin saya wondering apakah saya memang disuruh Allah kerja dulu adalah karena yang saya rasakan ketika selesai interview HR di Astra sama persis dengan perasaan saya waktu dulu keluar ruangan selepas interview kepribadian AFS.. maybe that was such a sign, I don't know. But then saya nyeplos dalam hati, "kalau memang keterima mungkin jalannya harus kerja dulu.."
Seleksi PCPM BI dibuka waktu saya sudah mulai proses seleksi di Astra. Yah, siapa sih yang nggak mau daftar BI (dan orangtua mana yang nggak nyuruh anaknya daftar BI wkwk). Mungkin cuma sebagian kecil. Jujur, saya coba-coba dengan tahu diri namun susah juga buat nggak berharap. Bukan semata karena gaji ataupun fasilitas, tapi saya ingin sekali bekerja di tempat yang juga mendukung kelanjutan studi saya (tetep yes). Tahapan yang saya ikuti dari PCPM BI adalah seleksi administrasi, seleksi potensi dasar, tes kebanksentralan, isu ekonomi terkini, dan Bahasa Inggris, dan berhenti di psikotes tertulis, LGD, dan interview kepribadian (wasn't sad but half disappointed, half annoyed with many people didn't seem to believe that I didn't pass through. kan aneh sayanya aja nggak pede-pede amat). Kalau ngutip kata-katanya temen saya Afi sih, "Kita terlalu rebel buat institusi macem BI" hahaha.
Singkat cerita, I got an email from Astra yang menyatakan saya lolos interview panel direksi just minutes sebelum saya presentasi di konferensi awal November lalu. Alhamdulillah. But it's kinda paradox to feel great to receive that congratulatory email, while sepanjang konferensi rasanya saya sedih karena rindu sekali kuliah dan ingin sekali cepat-cepat apply S2.. kegamangan pun makin menjadi-jadi.
Buth then setelah ngobrol dan diskusi dengan banyak orang, finally, bismillah.. I signed the contract. Agree untuk terikat di Astra for at least 3 tahun. Jujur aja, Astra bukan perusahaan yang mendukung untuk S2. Kalau mau ya monggo as long as kerjaan aman, tapi kalau berharap dibayarin atau mau unpaid leave hmm sepertinya sulit :') But then do I regret? No. Not at all. Saya akhirnya paham wajar aja kalau Astra nggak fokus ke sana, since Astra punya sistem pengembangannya sendiri yang udah banyak jadi benchmark perusahaan lain. I learn so much. I meet so many inspiring people. I make friends with so many great people. Dan rasanya superasik untuk finally mengerti aplikasi riil semua teori-teori yang saya pelajari.. bahkan seringkali teori itu sendiri di-challenge pada praktiknya :)
Many people don't understand why I only applied for MT program, which is harusnya saya udah tau dari awal pasti ada ikatan dinas sekian tahun dan penalti kalau mau keluar.. Gimana mau sekolah lagi gitu kan. Actually I don't either :") Tapi setelah saya renungkan, hal yang paling saya cari adalah kesempatan to grow as a person. Saya tidak ingin bekerja untuk sekedar cari duit dan ujung-ujungnya terjebak rutinitas tanpa bisa berkembang.. ujung-ujungnya melenceng jauh tujuan awal saya bekerja, yaitu untuk menemukan bidang apa yang selanjutnya mau saya fokuskan dan dalami.
If you ask me whether I still want to get master degree or to teach, well of course.. of course I do. Just not for now. Saya ingin sekolah karena saya butuh ilmunya, bukan sekedar cari titel master. Problematika jaman sekarang nih, efek banyak beasiswa menjamur banyak orang merasa S2 itu harus.. apalagi dengan mindset bisa sekalian ke luar negeri gratis. The more people I meet, yang saya amati ternyata S2 tidak selalu membuat kapasitas berpikir seseorang menjadi lebih besar. Memberikan ilmu lebih dan mengasah otak ya, tapi semua balik lagi ke individunya (#teamnature haha). S2-nya di mana dan sedalam apa belajarnya juga pasti hasilnya akan beda.
Soon as I'm ready I will go back to uni. Then later, saya ingin jadi dosen yang mengerti aplikasi lapangan seperti apa, bukan sekedar bacain teori dari textbook. Sekedar ngasih tugas then tau-tau keluar aja nilainya tanpa mahasiswa tau mana yang sudah baik atau perlu diimprove. But to be that teacher who can teach others to love to learn (tinggi amat ya mimpinya, tapi aminin aja lah ya wk). So maybe it's true that I would follow my dad's path.. to become a lecturer, yang memulai karir sebagai praktisi.☺
Intinya, mau S2 langsung ataupun kerja dulu.. You decide. Both have plus minus kok. Hehe. Kalau memang sudah tau mau berkarir di dunia akademik mungkin baiknya langsung, tapi kalau memang ingin jadi praktisi (atau mengajar sebagai pro) I think having work experience at first can give such a big advantage. You are always free to choose, but you always have to take the consequences. Nothing is free in this life, dear.
AB