Jumat, November 04, 2016

Kita dan Persepsi

I'm back!

Alright. Almost 13 months without any post..
It's kinda sad but hopefully I can write better now, since I am officially a bachelor of psychology.

Hahaha, bercanda ah guys.. :")

It's simply because I found nyatanya setelah lulus hidup tidak menjadi lebih menyenangkan apalagi mudah. Dan, menjadi seorang sarjana tidak serta-merta membuat saya menjadi dewasa, apalagi merasa lebih berilmu dari yang belum lulus ataupun yang belum berkesempatan untuk kuliah. Lagian juga it is already sooo basi. Saya sidang pertengahan Juni dan resmi diwisuda akhir Agustus lalu. Manisnya hari-hari menuju wisuda setelah lepas dari skripsi usai sudah, digantikan oleh fase kehidupan fresh graduate yang untuk menjelaskannya dibutuhkan satu post tersendiri. Coming soon yah :p

Yang menggelitik saya untuk kembali menulis lagi adalah tanggal hari ini. 4 November 2016. Seperti yang kita semua tau, while saya menulis ini ada demo yang berlangsung terkait kasus dugaan "penistaan" agama oleh Bapak Gubernur DKI Jakarta. Tumben nggak sih, seorang Azka sampai mau nulis tentang hal kayak gini? Haha awalnya saya sebel sih karena gara-gara demo ini saya jadi dilarang datang ke pameran pendidikan. Ya walau ini katanya aksi damai saya nurut aja deh sama orangtua daripada ada apa-apa di jalan. Saya berharap semoga nggak ada huru-hara hari ini since mama papa saya tetap masuk kerja dan nanti malam juga Paragita akan melaksanakan konser tahunan.. best luck for you all dear choristers!

Kenapa "penistaan" pakai tanda kutip? Karena kepo, beberapa waktu lalu saya coba mendengarkan pidato Pak Ahok secara lengkap. And.. I honestly don't find it as "penistaan" or anything close to it. Saya merasa maksud Si Bapak bukan untuk melecehkan.. But on the other side, saya juga tidak menampik bahwa kalimat yang diucapkan beliau ambigu dan dapat diartikan berbeda. Even though at the end, makna sebenarnya cuma beliau dan Allah yg tahu..

This is what's interesting about human mind, how we perceive something always depends on our prior knowledge and experiences.

Sedikit oot ya btw. Waktu dulu saya exchange, saya dihost oleh keluarga multiras dan multikeyakinan: dad orang kaukasian dan mom orang Filipina. Dad percaya Tuhan tapi tidak dalam konteks agama dan mom adalah seorang Christian. Seumur saya tinggal bersama mereka, if I am not mistaken, mereka tidak pernah pergi ke gereja (kalaupun pernah mungkin bisa dihitung dengan jari sebelah tangan, can't remember). Even so, Christmas and Easter tetap menjadi hari yang ditunggu-tunggu banyak orang, including keluarga semang saya, dengan penuh excitement. 

Bingung ya ini arahnya ke mana? Hahaha. Singkat cerita, selepas exchange, buat saya mengucapkan selamat natal dan selamat paskah ke teman-teman menjadi hal yang biasa saja. You know, simply karena saya punya prior experiences yang membuat saya mengasosiasikan natal dan paskah dengan vacation, school break, party atau sekedar kumpul bersama keluarga, juga tradisi-tradisi fun seperti "menanti kado dari santa" dan anak-anak yang excited mencari Easter egg. Sesederhana untuk berbagi kebahagiaan yang juga saya rasakan ketika teman-teman nonmuslim saya mengucapkan selamat Idul Fitri dan hati-hati selama mudik :)

Sedihnya, ada orang-orang yang nggak punya enough gut untuk ngomong langsung tapi memilih untuk nyindir-nyindir di sosmed bahwa mengucapkan sama dengan merayakan dan merayakan sama dengan mengimani. Mengimani ajaran agama lain lalu saya tanpa sadar menjadi what so called orang "kafir". Pertanyaan saya, sejak kapan sih bermain sindir di sosmed bisa menghasilkan output positif? I simply believe that God knows everything, even the deepest of our hearts so I don't bother. I don't see that need to explain anything while they don't even give an ear.

Dulu saya memandang mereka sebagai orang menyebalkan berpikiran sempit. Tapi sekarang saya paham bahwa prior experiences saya dan mereka simply berbeda, which eventually membentuk persepsi yang berbeda. Bahwa perbedaan sangat wajar terjadi.. tidak terhindarkan, bahkan. Finally saya bersyukur bahwa saya diberi kesempatan untuk tinggal di negara lain dan memperluas pola pikir saya. Living in another kind of diversity. Memiliki teman dan keluarga dari berbagai latar suku, kebangsaan, dan agama yang saya kagumi.

Juga kesempatan mempelajari ilmu psikologi yang membuat saya belajar bukan untuk menyebutkan apa yang benar dan salah, tetapi melihat bagaimana tindak-tanduk manusia bisa dipahami, meskipun tidak selalu sejalan dengan apa yang kita yakini. Biarlah orang lain membenci, setidaknya saya belajar untuk tetap menghargai.

Balik lagi ke masalah "penistaan". Saya pribadi berpendapat sama dengan orang-orang yang menyimpulkan kalimat Pak Ahok sebagai "jangan mau terpengaruh oleh oknum-oknum yang mengatasnamakan agama dalam perkara politik". Menurut saya sih, seperti tidak perlu mengangkat isu SARA untuk menjatuhkan lawan instead of mengedepankan proker yang bisa membuat masyarakat memilih berdasarkan kualitas. Beliau juga sudah meminta maaf dan melakukan klarifikasi dengan menjelaskan apa alasan beliau berkata seperti itu, yang beliau refer ke pengalaman semasa kampanye di Belitung Timur dan percakapan dengan Gusdur.. yaitu penegasan bahwa tidak perlu memilih beliau jika itu memang yang diyakini seperti itu. Monggo googling yang belum lihat.

Sebelum menyebutkan surat Al-Maidah beliau konteksnya lagi bahas proker dan menyentil pilkada kan. Saya melihat beliau memulai dengan mengucapkan salam. Pengetahuan agama saya memang belum ada apa-apanya, tapi setahu saya even seorang nonmuslim kalau memberi salam wajib dibalas dengan baik karena itu adalah bentuk penghormatan terhadap kita. Beliau membahas program-program yang diperuntukkan untuk rakyat dan tidak segan untuk mem-PHK PNS nakal. Sebelum sampai ke menit 19.12 yang jadi perkara itu, beliau sedang membicarakan bahwa jangan khawatir proker ini terhenti karena beliau masih menjabat sampai Oktober tahun depan. Beliau juga menambahkan setelahnya bahwa hak tiap orang untuk memilih atau tidak memilih beliau kembali.

Saya kira tidak jauh berbeda dengan masalah pemaknaan hari natal dan paskah tadi, pro dan kontra terhadap kalimat Pak Ahok ini juga dipengaruhi prior knowledge dan experiences tiap orang. Pemaknaan terhadap jabatan "gubernur" saja sudah berbeda-beda. Untuk orang-orang Islam yang memaknai gubernur sebagai pemimpin, jelas menganggap memilih Ahok sebagai haram. Mungkin mendengar hal ini, menjadi lebih reaktif. Yang memaknai gubernur sebagai pelayan masyarakat tentu berbeda anggapannya, begitu juga yang meyakini kata "awliya" dengan makna selain pemimpin. Bukankah keberagaman keyakinan terhadap terjemahan teks Al-Quran juga merupakan suatu hal yang perlu dihormati?

Saya sendiri berasal dari keluarga yang moderat dan saya bukan warga DKI. Tapi sebagai commuter yang sering lalu lalang di DKI, anak dari orangtua yang bekerja di DKI, dan sering berinteraksi dengan orang DKI saya melihat perubahan yang nyata di masa beliau menjabat. Saya cukup banyak bertukar pikiran dengan orang dan kesimpulan yang saya dapat so far, yang menjadi fokus memang kualitas calon.. bukan masalah tidak membela agama. Kalau ada calon yang beragama Islam dan kinerjanya sudah terbukti bukan janji-janji, kemungkinan besar beda cerita kok. Hehe. Sayangnya seems so far belum ada..

Ah, sudahlah. Nanti saya dinyinyirin dan dituduh macam-macam lagi. Hahaha.

Tapi walau bagaimanapun, saya menyayangkan Pak Ahok harus mengatakan kalimat yang terdengar ambigu tersebut. Beliau kurang berhati-hati dalam menyampaikan hal yang sensitif dibahas di sini: agama. Ceplas-ceplos dan kerasnya beliau sangat berguna untuk mengurusi Jakarta yang literally "tempat yang keras", namun untuk penyampaian ke masyarakat rentan sekali dipelintir dan dijadikan senjata untuk menyerang balik beliau. Sayang sekali. Beliau sudah meminta maaf dan meluruskan saja masih didemo, bukankah tanpa demo kasus ini memang sudah akan diusut? 

Jadi saya tidak membela siapa-siapa. Saya tidak menyalahkan siapapun yang menyatakan rasa marahnya terhadap kalimat Pak Ahok. Seminggu yang lalu saya juga habis bertengkar dengan si kakak dan ceritanya mirip dengan kasus ini. Saya marah karena dia mengatakan sesuatu yang sensitif, walau dia tidak berintensi untuk menyakiti. Apakah hikmah yang bisa diambil seperti kata pepatah "forgiven but not forgotten"? Saya sendiri adalah orang yang sulit untuk lupa.. but of course it's not that. Saya belajar untuk tidak melulu fokus pada pahitnya penyampaian, dan lebih tenang untuk melihat makna yang tersembunyi lebih dalam. Seperti dia belajar bahwa di balik reaksi yang sebegitunya, ada alasan. Sama seperti dinamika dalam hubungan yang saya harap bisa mendewasakan instead of menjauhkan, I wonder bisakah saya berharap dalam kasus ini juga begitu?

Supaya semua orang, tak cuma Pak Ahok, bisa lebih hati-hati. Mulutmu, harimaumu. Suka tidak suka, sadly, SARA masih sering dijadikan alat pemecah belah bangsa. Basi banget emang, mengingat seorang muslim sudah bisa diterima menjadi walikota London dan seorang kulit hitam bisa menjadi presiden Amerika. Walau isu SARA kayanya emang nggak akan bisa 100% hilang ya since judgement adalah bagian tidak terpisahkan dari manusia selaku makhluk sosial. Saya akan sangat menyayangkan kalau karena ini beliau tidak bisa mencalonkan diri kembali. Bukankah kita sudah lelah dengan janji-janji, juga lelah melihat yang terlihat beradab dan berpeci ternyata juga korupsi? Hanya mungkin untuk orang Indonesia yang terbiasa basa-basi, sebatas berkata-kata manis masih identik sebagai "akhlak" yang dijunjung tinggi.

Lagi-lagi soal prior experience, saya sendiri punya pengalaman buruk dengan orang yang saya kira teman, yang di depan saya baik hati tapi di belakang ngomongin. Bersyukur selama kuliah teman-teman saya kebanyakan ceplas-ceplos dan ngomongin di depan. Kadang nyelekit, tapi itu tulus dan jujur. Mungkin itu yang membuat saya "terkesan membela" orang yang ngomongnya nyablak daripada manis-manis di depan tapi ternyata menusuk dari belakang.

Saya juga berharap lebih banyak orang Islam yang menonjolkan Islam itu damai, bukan senggol bacok atau anarkis. Sesederhana berkomentar dengan sopan di media sosial. Saya heran sekarang "demo" di dunia maya kok jadi nggak kalah mengerikan daripada di dunia nyata -_- Sebaliknya, untuk yang beragama selain Islam saya harap untuk tidak menggeneralisasi. Menunjukkan kita bukan lagi jadi alay-alay baru kenal demokrasi tapi sudah mulai menyeimbangkan keberanian bersuara dengan kedewasaan berpikir dan kemampuan toleransi.

Kita tidak mungkin selalu sependapat dengan orang lain dan tidak akan pernah bisa. Tapi bagaimana menyikapi perbedaan yang jadi poin utamanya, bukan? Kayaknya ini kalimat klise yang orang sering lupakan.

Berikut beberapa komentar di media daring yang menggelitik saya, am sorry I picked randomly from what I read:
1. "Ini bukan soal politik, tapi soal harga diri dan agama." Ya. Tapi nyatanya ada yang memanfaatkan isu ini untuk tujuan politis.
2. "Kaum minoritas jangan sok merasa tersakiti, Islam yang menjadi minoritas di negara lain banyak yang lebih tersakiti!" Hmm, apa cuma saya yang gagal paham apa hubungan kondisi orang Islam di negara lain dengan non-Islam di Indonesia? Komentar kayak gini nih yang spreading hatred bukannya meredakan dan mengembalikan fokus ke topik awal.
3. Saya lupa persisnya tapi intinya "pemerintah dan aparat jangan antipati dengan pendemo, kecuali kalau pendemo diserang duluan wajib membela diri". Ya pendemo juga harus kooperatif dong. Aparat tetap warga negara dan manusia biasa, walau terluka itu resiko pekerjaan, mereka juga punya keluarga yang menunggu mereka pulang utuh dan nggak kurang suatu apa. Hahah bukan karena pacar saya, nggak suka aja kalo aparat bergerak langsung dibilang macem-macem (padahal pasti sifatnya reaksi dari suatu pemicu) tapi kalau terluka dianggap "sudah resiko" -_-

Mungkin sebentar lagi saya lagi-lagi dihakimi. Apalah yang bahkan belum syar'i sok berkomentar begitu begini? Tapi yang saya yakini, Allah yang lebih dekat dari pembuluh nadi jauh lebih mengetahui hati daripada makhluk yang cuma bisa menerka dan berasumsi. Dan mengingat waktu kita yang terbatas di dunia ini, in my humble opinion, membenahi diri sendiri jauh lebih penting dari mengoreksi orang lain ke sana ke mari. 

Wallahualam. Semoga Allah menunjukkan yang benar dan yang salah serta mengampuni seluruh dosa kita. Aamiin.


AB